Kamis, 24 Maret 2011

Menarik Pelajaran Dari Atsar Ibnu Mas'ud

Bismillaahirrahmaanirrahiim.

Alhamdulillaah, kemarin ketika sedang "iseng" browsing di dunia maya, saya mendapati sebuah atsar (kisah) yang insyaaAllah cukup menarik untuk direnungkan. Sebuah atsar (kisah) yang jika dibaca sekilas mungkin terasa biasa. Namun jika direnungkan lebih dalam, ternyata terkandung berbagai pelajaran yang berharga di dalamnya.

Sebuah atsar tentang dua orang ulama dari kalangan sahabat Nabi, dan sekelompok orang tak dikenal yang penuh semangat dalam menjalankan agama, namun tidak di atas bimbingan ilmu (sunnah Nabi) dalam menjalaninya.

Bagaimana atsar (kisah)nya? Apa isinya? Apa pelajarannya?

Mari kita baca bersama-sama:

Dari ‘Amr bin Yahya, dia berkata, “Aku mendengar ayahku menceritakan dari bapaknya, dia berkata, ‘Kami pernah duduk-duduk di pintu (rumah) Abdullah bin Mas’ud sebelum shalat shubuh -(biasanya bila dia keluar dari rumahnya) kami pun peri bersamanya ke masjid. Tiba-tiba datang Abu Musa al-Asy’ari Ra. Dan berkata, ‘Adakah Abu Abdurrahman (Abdullah bin Mas’ud) telah keluar pada kalian?’ Kami menjawab, ‘Belum.’ Lalu dia pun duduk bersama kami sampai akhirnya Abdullah bin Mas’ud keluar.

Setelah dia keluar, kami berdiri menemuinya dan Abu Musa al-Asy’ari berkata, ‘Wahai Abu Abdurrahman, tadi aku melihat di masjid suatu perkara yang aku mengingkarinya, dan alhamdulillah aku tidak melihatnya kecuali kebaikan. Dia bertanya, ‘Apa itu?’ Abu Musa menjawab, ‘ Bila kau masih hidup niscaya kau akan melihatnya sendiri.’ Abu Musa lalu berkata, ‘Aku melihat di masjid beberapa kelompok orang yang duduk membentuk lingkaran (halaqah) sambil menunggu (waktu) shalat. Dalam setiap lingkaran itu ada seseorang yang memimpin dan di tangan mereka ada batu-batu kecil, laki-laki itu berkata, ‘Bacalah takbir 100 kali,’ mereka pun bertakbir 100 kali, kemudian ia berkata lagi, ‘Bacalah tahlil 100 kali’, mereka pun bertahlil 100 kali, kemudian ia berkata lagi, ‘Bacalah tasbih 100 kali’, mereka pun bertasbih 100 kali.

Abdullah bin Mas’ud bertanya, ‘Apa yang kamu katakan pada mereka?’ Abu Musa menjawab, ‘Aku tidak akan mengatakan apa pun pada mereka, karena aku menunggu pendapatmu atau menunggu perintahmu!’ Abdullah bin Mas’ud menjawab, ‘Tidakkah kamu katakan pada mereka untuk menghitung kesalahan-kesalahan mereka, dan kau beri jaminan bagi mereka bahwa tidak ada sedikit pun dari kebaikan mereka yang akan hilang begitu saja?’

Kemudian dia pergi dan kami pun ikut bersamanya, hingga tiba di salah satu kelompok dari kelompok-kelompok (yang ada di masjid) dan berdiri di hadapan mereka, lalu berkata, ‘Apa yang kalian sedang kerjakan?’ Mereka menjawab, ‘Wahai Abu Abdurrahman, (ini adalah) batu-batu kecil yang kami gunakan untuk menghitung takbir, tahlil, tasbih, dan tahmid.’Abdullah bin Mas’ud berkata, ‘Hitunglah kesalahan-kesalahan kalian. Aku akan menjamin bahwa tidak ada sedikit pun dari kebaikan-kebaikan kalian yang akan hilang begitu saja.

Celaka kalian wahai umat Muhammad, alangkah cepatnya kebinasaan kalian. Lihat sahabat-sahabat Nabi, masih banyak baju-baju mereka yang belum rusak dan bejana-bejana mereka belum pecah!

Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh (apakah) kalian ini ada pada ajaran yang lebih baik dari ajaran Muhammad ataukah kalian sedang membuka pintu kesesatan?’ Mereka menjawab, ‘Demi Allah wahai Abu Abdurrahman, kami tidak menginginkan kecuali kebaikan.’

Abdullah bin Mas’ud berkata, ‘Berapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tapi dia tidak dapat meraihnya [karena tidak sesuai sunnah]. Sesungguhnya Rasulullah Saw. Bersabda kepada kami bahwa ada sekelompok orang yang membaca al-Qur’an tapi hanya sebatas kerongkongan mereka saja. Demi Allah, aku tidak tahu, barangkali sebagian besar mereka itu dari kalian-kalian ini.’ Kemudian dia pergi.

Amr bin Salamah berkata, ‘Kami lihat sebagian besar mereka memerangi kita pada perang Nahrawan bersama dengan kelompok Khawarij.”

(Atsar ini diriwayatkan oleh ad-Darimi No. 204, dalam Muqaddimah Sunan-nya)

Alhamdullillaah, demikianlah atsarnya. Singkat dan padat, serta insyaaAllah banyak manfaat. Saya pribadi mendapatkan beberapa faidah (manfaat) ilmu yang berharga dari kisah di atas.

Selanjutnya, berikut adalah beberapa Faidah yang bisa diambil dari atsar di atas :

  • Bahwa seorang yang 'alim (berilmu), tidaklah mungkin menguasai semua ilmu
  • Bahwa seorang yang 'alim (berilmu), kadang pun mengalami kebingungan

Pada kisah di atas, diceritakan bahwa seorang sahabat besar, ulama besar, sekelas Abu Musa Al-Asy'ari pun bingung saat melihat beberapa orang berkumpul bersama untuk berdzikir berjama'ah (tentang hukumnya, apakah bid'ah atau sunnah).

Hal ini menunjukkan bahwa seorang yang 'alim (berilmu) pun, terkadang dapat mengalami kejadian-kejadian di mana dia tidak mengetahui hukum yang jelas tentang suatu hal --- walaupun mungkin dia sangat berilmu dalam bidang lainnya.

Sesungguhnya manusia dilahirkan dalam keadaan tidak berilmu. Dan sesungguhnya, ilmu itu didapatkan dengan ta'allum (menuntut ilmu).

  • Bahwa sudah selayaknya orang yang tidak tahu bertanya kepada yang lebih tahu

Perhatikan bahwa Abu Musa Al-Asy'ari, seorang ulama besar dari kalangan sahabat Nabi, tidak langsung "berfatwa" tentang sesuatu hal jika beliau ragu akan hukum suatu hal tersebut. Akan tetapi, beliau bertanya kepada ulama yang dipandangnya lebih 'alim (lebih berilmu) dari dirinya, yaitu 'Abdullah bin Mas'ud.

Sudah sepantasnya bagi seorang muslim untuk selalu rendah hati dan tahu kapasitas dirinya. Tidak berkata-kata tentang suatu hal, apalagi tentang urusan agama, kecuali dia tahu ilmunya.

  • Bahwa berdzikir berjama'ah tidaklah ada contohnya dari Nabi, Shallallahu 'Alaihi wa Sallam

Abu Musa Al-Asy'ari bingung tentang hukum perbuatan dzikir berjamaah tersebut. Beliau (Abu Musa), melihatnya sebagai perbuatan yang terlihat baik, tetapi hati beliau merasa perbuatan tersebut adalah perbuatan yang muingkar, karenanya hati beliau mengingkarinya dan beliau merasa perlu bertanya kepada yang beliau anggap lebih faham.

Kenapa beliau bingung?

Hal ini tentunya karena memang dzikir secara berjama'ah tidak pernah dicontohkan oleh Nabi dan tidak pernah diamalkan oleh sahabat-sahabat Nabi, baik saat Nabi masih hidup, dan tidak pernah juga dilakukan para sahabat sepeninggal Nabi -- Shalllahu 'Alaihi wa Sallam.

Lalu kenapa Ibnu Mas'ud ('Abdullah bin Mas'ud) menentang amal mereka?

Sebab Nabi tidak pernah mencontohkan hal tersebut. Andai Nabi pernah melakukannya atau pernah mengajarkan kepada para sahabatnya, pastilah para sahabat mengamalkannya, dan tentu perbuatan seperti tersebut tidak akan ditentang oleh 'Abdullah bin Mas'ud.

  • Bahwa pemahaman para sahabat Nabi, terutama kesepakatan mereka, adalah pembeda antara penafsiran yang benar dan penafsiran yang salah dalam memahami sebuah dalil.

Perhatikanlah kisah di atas. Orang-orang yang tidak dikenal karena keilmuannya, salah mengartikan dalil-dalil tentang majelis dzikir. Karenanya, perbuatan mereka langsung ditentang oleh seorang sahabat besar, 'Abdullah bin Mas'ud.

Tafsir para sahabat, adalah tafsir yang lebih tinggi kedudukannya dibanding tafsir yang selainnya, dalam masalah agama. Hal ini dikarenakan mereka adalah kaum yang hidup bersama Nabi, belajar kepada Nabi, hafal al-qur'an, hafal berbagai hadits Nabi, fasih dalam bahasa Arab. Mereka adalah kaum yang paling takut kepada Allah, paling zuhud kepada dunia, paling berharap dan bersegera mengerjakan berbagai kebaikan.

Kesemua hal ini cukup untuk menjadikan tafsir dan pemahaman para sahabat lebih utama dibanding yang selainnya.

  • Bahwa penyimpangan dalam manhaj (cara memahami) agama, pada awalnya memang "kecil", akan tetapi pada akhirnya bisa menjadi besar dan membahayakan Ummat ini.

Perhatikanlah kisah di atas sekali lagi!

Disebutkan di akhir atsar, pada akhirnya orang-orang yang berdzikir berjama'ah tersebut bergabung bersama kaum khawarij, menjadi para pemberontak yang memerangi pemerintahan yang sah (oleh Khalifah Rasyidin, jama'ah para sahabat Nabi) dan menumpahkan darah ummat Islam yang berpegang pada jama'ah para sahabat tersebut.

Dan dari pemberontakan tersebutlah, awal perpecahan ummat terjadi. Para sahabat Nabi terbunuh, para penghafal quran kehilangan nyawa-nyawa mereka, darah kaum muslimin tertumpah, dan terbitlah agama syi'ah -- dengan segala keanehannya.

  • Tidak sepantasnya membiarkan kesalahan berlanjut, walau dianggap kecil

Karenanya, sudah sepantasnya bagi seorang muslim untuk tidak membiarkan kesalahan sekecil apa pun terjadi terus-menerus, sedangkan dia bisa untuk mencegahnya. Sebuah kesalahan kecil yang dibiarkan pada akhirnya menjadi masalah besar, seperti penjelasan di poin sebelumnya.

  • Bahwa yang dimaksud majelis dzikir, bukanlah majelis "dzikir berjama'ah". Akan tetapi, majelis ilmu yang di dalamnya dikaji berbagai ilmu tentang Islam.

Perhatikan kisah di atas. Jelas terbaca bahwa sahabat kibar (sahabat besar), 'Abdullah bin Mas'ud, tidak menafsirkan majelis dzikir sebagai majelis "dzikir berjama'ah". Tidak pernah juga kita dengar bahwa Nabi berdzikir bersama-sama para sahabat secara berjama'ah. Karenanya, yang dimaksud majelis dzikir dalam berbagai hadits bukanlah berdzikir secara berjama'ah.

Akan tetapi yang dimaksud majelis dzikir itu, adalah majelis ilmu. Dan dalam hal ini (membentuk majelis ilmua), ada begitu banyak contoh dari Nabi dan para sahabatnya.

Abu Hazzan 'Atha' pernah ditanya: "Apakah Majelis Dzikir itu?" Beliau menjawab: "Yaitu majelis tentang halal dan haram. Majelis yang mengajari bagaimana kamu shalat, puasa, menikah, talak, dan bagaimana kamu berjual-beli." (Al Hilyah 3/313).

Sa'id bin Jubair mengatakan: "Semua yang melakukan ketaatan kepada Allah karena Allah, maka dia adalah orang yang berdzikir kepada Allah."(Al Adzkar 7).

Syaikh Al Imam Abu 'Amr Ibnu Shalah pernah ditanya ukuran seseorang dikatakan sebagai orang yang banyak berdzikir kepada Allah?" Beliau mengatakan: "Yaitu orang yang tekun melakukan dzikir-dzikir ma'tsur (diriwayatkan) yang sahih setiap pagi dan petang dalam keadaan yang berbeda, siang malam." (Al Adzkar 7).

Al Manawi mengatakan: "Hujjatul Islam (Al Ghazali –ed) mengatakan: "Yang dimaksud dengan majelis dzikir adalah, tadabbur Al Quran, mempelajari agama, dan menghitung-hitung ni'mat yang telah Allah berikan kepada kita." (Faidlul Qadir 5/519).

Imam Al Qurthubi mengatakan: "Majelis dzikir adalah majelis ilmu dan nasehat (peringatan). Yaitu majelis yang diuraikan padanya firman-firman Allah, Sunnah Rasul-Nya dan keterangan para salafus shaleh serta imam-imam ahli zuhud yang terdahulu, jauh dari kepalsuan dan kebid'ahan yang penuh dengan tujuan-tujuan yang rendah dan ketamakan." (Fikih Sunnah 2/87).

Lafadz dzikir tidak selalu bermakna dzikir menggerak-gerakkan lidah. Dzikir (mengingat), bisa juga berarti mempelajari ilmu tentang Islam, dan mengingat Allah (dalam hati). Juga bisa bermakna belajar, menuntut ilmu, dan lainnya.

Seperti diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda:

“Barangsiapa yang mandi pada hari Jum’at kemudian berang-kat di waktu pertama, maka seakan-akan dia berkurban seekor onta, dan barangsiapa yang berangkat di saat kedua maka seakan-akan dia berkurban seekor kerbau, dan barangsiapa yang berangkat di waktu ketiga maka seakan- akan dia berkurban seekor domba bertanduk, dan barangsiapa yang berangkat pada waktu keempat maka seakan-akan dia berkurban seekor ayam, dan barangsiapa yang datang pada waktu kelima maka seakan-akan dia berkurban seekor telor. Maka apabila imam telah keluar maka hadirlah para malaikat mendengarkan dzikir.”

Yang dimaksudkan dengan dzikir di dalam hadits ini adalah khutbah dan nasehat. ( Lihat kitab Al-I’lam bifawaid Umdatil Ahkam, Ibnul Mulaqqin: 4/173)

  • Yang menjadi patokan adalah dalil. Lalu, setelahnya, adalah pengamalan Nabi terhadap dalil tersebut, lalu pemahaman dan kesepakatan para sahabat terhadap dalil tersebut, lalu orang-orang yang berilmu.

Yang menjadi patokan bukan akal pikiran dan perasaan masing-masing, seperti banyak dilakukan kaum muslimin di hari ini, yang menjadikan "menurut saya" dan "pendapat saya" bahkan "perasaan saya" menjadi rujukan. Bahkan pada dasarnya, perasaan dan pendapat manusia yang tanpa bimbingan Nabi, adalah sumber kerusakan di dunia dan akhirat.

Perhatikan apa kata Abdullah bin Mas'ud, seorang ulama dari kalangan sahabat Nabi:

"...Celaka kalian wahai umat Muhammad, alangkah cepatnya kebinasaan kalian. Lihat sahabat-sahabat Nabi, masih banyak baju-baju mereka yang belum rusak dan bejana-bejana mereka belum pecah!

Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh (apakah) kalian ini ada pada ajaran yang lebih baik dari ajaran Muhammad ataukah kalian sedang membuka pintu kesesatan?..."

  • Bahayanya beragama tanpa ilmu
  • Bahayanya beragama dengan dasar "menurut kami"

Perhatikan jawaban mereka, orang-orang yang awam, yang berdiri di atas "menurut kami".

Mereka menjawab,

‘Demi Allah wahai Abu Abdurrahman, kami tidak menginginkan kecuali kebaikan.’

Beribadah tanpa ilmu, dan beribadah berdasar "anggapan baik" adalah suatu kesalahan.

Sebuah hal yang "dianggap baik", pada hakikatnya adalah tidak baik, selama bertentangan dengan perintah Allah dan RasulNya. Dan Nabi pun memerintahkan untuk beribadah hanya dengan mengikuti cara-cara yang telah beliau contohkan, bukan dengan "kreasi sendiri".

Pada hakikatnya, kebaikan apalah yang dipastikan baik oleh Allah dan RasulNya. Dan Tidaklah jalan-jalan kebaikan itu, kecuali telah Nabi sampaikan sebelum wafatnya.

  • Bahayanya menuntut ilmu syar'i dari orang-orang "kecil"

Yang dimaksud di sini bukanlah kecil badannya, akan tetapi kecil ilmunya.

Sumber kesalahan yang dilakukan oleh orang-orang yang ditentang Ibnu Mas'ud pada kisah di atas adalah, mereka belajar dan menafsirkan dalil menurut pendapat mereka sendiri, padahal mereka bukanlah orang-orang yang besar ilmunya. Andai mereka belajar kepada para sahabat Nabi, yang jelas-jelas lebih 'alim dan lebih besar (luas) ilmunya, mungkin kesalahan seperti di atas tidak akan terjadi.

Abdullah bin Al-Mubarak meriwayatkan dengan sanadnya dari Abi Umayyah Al-Jamhi Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Sesungguhnya di antara tanda-tanda telah dekatnya hari kiamat itu ada tiga, salah satunya ialah akan dituntutnya ilmu dari Al-Ashaghir (orang-orang kecil)”

[Kitab Az-Zuhud karya Ibnul Mubarak, halaman 20-21, hadits no. 61 dengan tahqiq Habibur Rahman Al-A’zhami, Darul Kutub Al-Ilmiyyah, Al-Albani berkata, “Shahih”. Periksa : Shahih Al-Jami’ush-Shaghir 2 : 243, hadits no. 2203. Dan Al-Hafizd Ibnu Hajar menjadikannya syahid dalam Fathul Bari 1 : 143]

Imam Abdullah bin Al-Mubarak ditanya tentang Al-Ashagir (orang-orang kecil) itu, lalu beliau menjawab, “Yaitu orang-orang yang berkata menurut pendapatnya sendiri saja (tanpa mengacu pada Kitabullah dan Sunnah Rasul), adapun anak muda yang orang-orang tua meriwayatkan darinya bukanlah yang dimaksud dengan shagir (kecil)”. Dan beliau berkata juga, “Ilmu datang kepada mereka dari orang-orang kecil (rendah) mereka, yakni ahli bid’ah”

[Hasyiyah Kitab Az-Zuhud, hal.31, dengan tahqiq dan ta’liq Habibur Rahman Al-A’zhami]

  • Tidaklah diraih kebaikan dunia-akhirat, kecuali dengan ilmu yang benar

Sesungguhnya, ibadah yang benar, akhlak yang baik, aqidah yang lurus hanyalah bisa diraih dengan ilmu, bukan hanya dengan semangat semata. Kembali kepada atsar di atas, yang menjadi masalah bukanlah rendahnya semangat mereka dalam beramal (bahkan semangat mereka sangat tinggi), akan tetapi minimnya ilmu mereka tentang sunnah Nabi.

Nabi mengabarkan termasuk tanda-tanda kebahagiaan adalah fahamnya seorang hamba akan agama Allah. Bersabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,

"Artinya : Barangsiapa dikehendaki Allah atasnya kebaikan niscaya ia akan difahamkan akan agamanya"

[Hadits shahih, dikeluarkan Bukhari-Muslim dari hadits Mu’awiyah Rahiallahu ‘anhu]

  • Pentingnya Amar Ma'ruf Nahi Munkar

Atsar di atas juga menunjukkan pentingnya amar ma'ruf (menyeru kepada kebaikan) dan nahi munkar (mencegah dari keburukan). Seperti yang dilakukan oleh Ibnu Mas'ud dan Abu Musa di atas.

Tidak seperti kebanyakan ummat di zaman ini yang tidak peduli dengan keburukan dan tidak menyeru kepada kebaikan, mereka, para sahabat Nabi, jika melihat suatu keburukan sangat gigih melawannya, dan jika melihat kebaikan begitu semangat mengerjakannya.

  • Amar Ma'ruf Nahi Munkar Disertai Solusi

Contohlah perbuatan Ibnu Mas'ud di atas! Beliau tidak hanya melarang dari hal yang buruk (berdzikir berjama'ah, karena tidak dicontohkan oleh Nabi), akan tetapi juga memberi solusi alternatif yang lebih baik (dan sesuai sunnah) dari apa yang sedang dikerjakan kaum tersebut, yaitu menghitung-hitung kesalahan mereka (beristighfar) --- sendiri-sendiri tentunya.

  • Bahwa amalan yang tidak sesuai sunnah, walaupun dianggap baik, maka sebenarnya tidak ada kebaikannya.

Seperti dikatakan oleh Ibnu Mas'ud pada kisah di atas,

"...Berapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tapi dia tidak dapat meraihnya [karena tidak sesuai sunnah]..."

Dan disebutkan juga dalam sebuah riwayat lainnya dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhuma, beliau berkata:

"...Semua bid'ah sesat walaupun seluruh manusia menganggapnya baik...."

[Diriwayatkan oleh al Laalikaai (nomor 126), Ibnu Baththah (205), al Baihaqi dalam kitab al Madkhal Ilas Sunan (191), Ibnu Nashr dalam kitab as Sunnah (nomor 70).]

  • Bahwa amalan yang tidak sesuai sunnah, adalah fasad (kerusakan), walau terlihat sebagai sesuatu yang baik dan benar

Karenanya, perbuatan mereka ditentang oleh Ibnu Mas'ud (nahi munkar). Andai perbuatan tersebut bernilai ibadah, dan bukan sebuah perbuatan mungkar, maka tidak ada gunanya untuk ditentang -- bahkan harus diperjuangkan.

Demikian sebagian kecil dari manfaat yang bisa didapatkan dari kisah ini. Mudah-mudahan bisa menjadi pelajaran yang berharga, untuk diamalkan dan didakwahkan dalam kehidupan sehari-hari.

Mohon maaf jika tidak terlalu banyak ilmu yang didapat, dan jika tidak bisa menuliskan banyak dalil pendukung di setiap poinnya, dikarenakan kekurangan ilmu dari penulis catatan singkat ini. Hanya sekedar ingin berbagi ilmu yang telah Allah beri kepada diri ini.

Apapun, semoga Allah menjadikan catatan ringkas ini berguna dan bermanfaat bagi semua pembaca, dan tentunya untuk penulis, sebagai amal ikhlas untuk bekal kembali menghadap padaNya di suatu hari yang pasti.

Yaitu,

"...hari di mana harta dan anak-anak tiada berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih..." [Surat Asy-Syu’ara 26 : 88-89]

Wallahu A'lam Bish Shawwab,

Walhamdulillahilladzii bi ni'matihi tatimmush-shaalihaat.

Bandung, 23 Maret 2011

Abu Fudhail Haryo, As-Sarijadi

Tidak ada komentar: